11/16/2009

Tripl3 Thr33


SEBUAH RUANG SINERGI

Pameran yang diadakan pada 4 Maret 2008 ini, memiliki visi kedepan tentang bagaimana seharusnya seni rupa tidak hanya di Bandung, tetapi juga di Indonesia secara umum. Berawal dari gagasan pameran bersama sembilan mahasiswa seni dari masing-masing tiga institusi seni di Bandung, pameran ini dapat menghadirkan paling tidak sekilas pandangan tentang perkembangan seniman-seniman muda di Bandung. Sinergi antara sumber daya dan pemikiran dari tiga institusi yang berbeda, walaupun masih dalam satu medan sosial yang lebih besar, yaitu Bandung,tentu merupakan hal yang sangat menarik untuk dicermati.

Ketiga institusi ini, yaitu FSRD ITB, STISI dan FSRD UK Maranatha, memiliki pola-pola pelatihan dengan karakter yang berbeda-beda, walaupun masih dalam koridor yang sama. Pola - pola tersebut dapat dicermati melalui hasil-hasil karya yang dipamerkan melalui Tripl3 Thr33 ini.

11/14/2009

SENI RUPA MODERN

Fungsi Seni Rupa dan Strukturnya

1. Lingkup Seni

Tentang apakah seni itu sampai kini menjadi topik pembicaraan yang masih tetap menarik, dan tidak pernah habis. Seni mencakup pengertian yang sangat luas, masing-masing definisi memiliki tolok ukur yang berbeda. Definisi yang diberikan cenderung menitikberatkan pada sisi teoretis dan filosofis.
Seni bisa diartikan sebagai usaha manusia untuk menciptakan bentuk-bentuk yang menyenangkan. Bentuk-bentuk yang menyenangkan dalam arti bentuk yang dapat membingkai perasaan keindahan dan perasaan keindahan tersebut dapat terpuaskan apabila dapat menangkap harmoni atau satu kesatuan dari bentuk yang disajikan.
Seni dapat pula diartikan sebagai simbol perasaan. Seni merupakan bentuk kreasi simbolis dari perasaan manusia. Bentuk-bentuk simbolis dari transformasi pengalaman dan bukan terjemahan pengalaman melainkan formasi pengalaman emosionalnya yang bukan dari pikirannya semata.

a. Seni dan ekspresi

Memahami Kesenian itu berarti menemukan sesuatu gagasan atau pembatasan yang berlaku untuk menentukan hubungan dengan unsur nilai dalam budaya manusia. Kita harus memastikan diri bahwa tafsiran kita tentang kesenian itu adalah mampu menggambarkan kelengkapan dan keragaman yang ada di dalamnya. Ukuran kesenian itu tidak dapat ditentukan dengan metode apriori, seperti juga tak seorang pun dapat menemukan tujuan hidupnya, lepas dari proses hidup kepada apa yang harus dilakukan.
Perbatasan tentang seni adalah sasaran akhir dan bukan titik pijak, tetapi kita perlu menentukan medan yang harus kita lakukan terhadap hasil pengamatan-pengamatan sementara sebelum menemukan batasan yang mapan. Meskipun karya seni itu merupakan ungkapan, namun sebaliknya bahwa setiap ungkapan bukanlah suatu yang sebenarnya. Ekspresi atau ungkapan estetika itu merupakan cabang psikologi sepanjang yang dipelajari dengan metode objektif.
Teori kesenian dapat berpengaruh baik pada proses cipta, namun bukan berarti bahwa seorang yang memiliki teori kesenian itu mampu mengungkapkan ke dalam karya seni. Tujuan ungkapan seni dibuat dan dinilai untuk dirinya sendiri, untuk keperluan lain, dan kita selalu akrab dengannya, dan kita sengaja membuatnya dan merenunginya. Seni sebagai ekspresi merupakan hasil ungkapan batin seorang seniman yang terjabar ke dalam karya seni lewat medium dan alat.
Dialog karya seni dan penghayatnya sangat dibutuhkan selama kehadiran karya seni masih dibutuhkan oleh manusia. Terjadinya dialog antara seniman, penghayat, dan karya seni, maka seni merupakan ekspresi sekaligus sebagai alat komunikasi.

b. Hubungan antara seni

Ada hubungan di antara semua seni, terjadinya perbedaan di antara semua seni itu sebenarnya hanyalah perbedaan fisik karena adanya perbedaan medium dan material yang digunakan. Perbedaan hubungan di antara semua seni: seni lukis, patung, arsitektur, musik, puisi, fiksi, tari, film, dan lain sebagainya mempunyai masalah yang sama di dalam estetika. Medium merupakan sarana yang dipergunakan untuk menunjang terbentuknya sebuah karya seni.
Di samping perbedaan material, karakter di dalam kesenian secara fisik ditentukan juga wujud media lain yang mendukungnya, yang nantinya akan mempunyai sifat hayati yang berbeda pula. Seni audio adalah sebuah karya hayati yang dapat dirasakan dan dipahami melalui indera pendengaran. Seni visual menunjukkan pada suatu keberadaan yang pasti dan sangat tergantung dari indera penglihatan. Seni audio visual menunjukkan adanya sifat-sifat dalam jenis karya seni yang dapat dirasakan dengan dua indera, yaitu penglihatan dan pendengaran, termasuk dalam hal ini jenis cabang seni pertunjukkan.

c. Seni dan keindahan

Ide terpenting dalam sejarah estetik filsafat sejak jaman yunani kuno sampai abad ke-18 ialah masalah yang berkaitan dengan keindahan. Keindahan dalam arti yang luas, merupakan pengertian semula dari bangsa yunani, yang di dalamnya tercakup pula ide kebaikan. Keindahan dalam arti estetika murni, menyangkut pengalaman estetis dari seseorang dalam hubungannya dengan segala sesuatu yang diserapnya. Jadi keindahan pada dasarnya adalah sejumlah kualitas pokok tertentu yang terdapat pada sesuatu hal. Kualitas yang paling sering disebut adalah kesatuan (unity), keselarasan (harmony), kesetangkupan (symmetry), keseimbangan (balance), dan perlawanan (contrast).

d. Nilai estetis

Istilah dan pengertian keindahan tidak lagi mempunyai tempat yang terpenting dalam estetika karena sifatnya yang bermakna ganda untuk menyebut pelbagai hal, bersifat longgar untuk dimuati macam-macam ciri dan juga subyektif untuk menyatakan penilaian pribadi terhadap sesuatu yang kebetulan menyenangkan. Teori umum tentang nilai, pengertian tentang keindahan dianggap sebagai salah satu jenis nilai. Dalam bidang filsafat, istilah nilai sering dipakai sebagai suatu kata benda abstrak yang berarti keberhargaan dan kebaikan.
Nilai adalah semata-mata suatu realita psikologis yang harus dibedakan secara tegas dari kegunaan, karena terdapat dalam jiwa manusia dan bukan lada bendanya itu sendiri. Mengenai berbagai ragam dari nilai, ada pendapat yang membedakan antara nilai subyektif dan nilai obyektif. Persoalan tentang kedudukan metafisis dari nilai menyangkut hubungan antara nilai dengan kenyataan atau lebih lanjut antara pengalaman orang mengenai nilai dengan realitas yang tak tergantung pada manusia.
Perkembangan estetika akhir-akhir ini, keindahan tidak hanya dipersamakan artinya dengan nilai estetis seumumnya, melainkan juga dipakai untuk menyebut satu macam atau kelas nilai estetis. Nilai estetis selain terdiri dari keindahan sebagai nilai yang positif kini dianggap pula meliputi nilai yang negatif. Estetika kadang-kadang dirumuskan pula sebagai cabang filsafat yang berhubungan dengan teori keindahan.
Filsuf seni dewasa ini menjawab bahwa nilai estetis itu tercipta dengan terpenuhinya asas-asas tertentu mengenai bentuk pada sesuatu benda (khususnya karya seni yang diciptakan oleh seseorang). Estetika berasal dari kata Yunani Aesthesis, yang berarti perasaan atau sensitivitas. Hampir semua kesalahan kita tentang konsepsi seni ditimbulkan karena kurang tertibnya menggunakan kata-kata seni dan keindahan.
Keindahan pada umumnya ditentukan sebagai sesuatu yang memberikan kesenangan atas spiritual batin kita. Semakin banyaknya kita mendefinisikan cita rasa keindahan, hal itu tetaplah teoretis, namun setidaknya kita akan dapat melihat basis aktivitas artistik (estetika elementer). Tingkatan basis aktivitas estetik atau artistik:

- Tingkatan pertama: pengamatan terhadap kualitas material, warna, suara, gerak sikap dan banyak lagi, sesuai dengan jenis seni serta reaksi fisik lain.

- Tingkatan kedua: penyusunan dan pengorganisasian hasil pengamatan, pengorganisasian tersebut merupakan konfigurasi dari struktur bentuk-bentuk pada yang menyenangkan, dengan pertimbangan harmoni, kontras, balance, unity yang selaras atau merupakan kesatuan yang utuh. Tingkat ini sudah dapat dikatakan dapat terpenuhi. Namun ada satu tingkat lagi.

- Tingkatan ketiga: susunan hasil persepsi (pengamatan). Pengamatan juga dihubungkan dengan perasaan atau emosi, yang merupakan hasil interaksi antara persepsi memori dengan persepsi visual. Tingkatan ketiga ini tergantung dari tingkat kepekaan penghayat.

Setiap manusia mempunyai tingkat pemahaman yang berbeda tergantung relativitas pemahaman yang dimiliki. Pemahaman estetika seni dalam pelaksanaannya merupakan apresiasi seni. Penghayat yang merasa puas setelah menghayati karya seni, maka penghayat tersebut dapat dikatakan memperoleh kepuasan estetik. Penghayat yang sedang memahami karya sajian, maka sebenarnya ia harus terlebih dahulu mengenal struktur organisasi atau dasar-dasar dari susunan dasar seni rupa, mengenal tentang garis, shape, warna, tekstur, volume, ruang dan waktu.


e. Seniman, karya seni, dan penghayat

Seniman, karya seni dan penghayat merupakan tiga komponen utama pendukung kehidupan seni. Pementasan atau penyajian atau pameran seni merupakan salah satu bentuk aktivitas yang memungkinkan terjadinya interaksi tiga komponen tersebut dalam menembus keterbatasan.

f. Penghayat seni

Penghayat seni adalah penghayat makna pengalaman kehidupan batiniah yang sadar akan ragam kemungkinan bentuk estetis, yang sanggup mewadahi dan memacu terciptanya beragam makna dengan nilai-nilainya. Penghayat seni yang baik akan selalu haus dengan ragam pengalaman estetik yang sanggup menggugah gairah kehidupan manusiawi dengan ragam kekayaan pengalaman batin yang mendalam.

g. Seniman

Ada dua pengertian arti seniman. Seniman diartikan sebagai nama profesi seseorang dalam menciptakan atau menyusun bentuk karya seni. Seniman juga dapat diartikan sebagai manusia yang mengalami proses kreativitas atau proses imajinasi, yaitu proses interaksi antara persepsi memori dan persepsi luar. Sehingga dalam hal ini, seniman di samping sebagai pencipta atau penyusun bentuk karya seni, juga sekaligus sebagai penghayat.

h. Hubungan seni dan alam

Alam dapat dikatakan sebagai pewujudan kasat mata, namun sesungguhnya ada hubungan yang tak terpisahkan antara manusia dengan lingkungan alam. Apabila seni merupakan duplikat bentuk luar dari alam, maka imitasi yang paling dekat merupakan pelukisan yang paling memuaskan. Seniman tidak bermaksud untuk menggambarkan perwujudan yang kasat mata, melainkan ingin menceritakan tentangnya.

i. Hubungan seni dan masyarakat

Seni dan masyarakat merupakan dua konsep yang masing-masing punya masalah dan punya kepentingan sendiri, walaupun di antara keduanya terdapat hubungan yang tak dapat dipisahkan. Plato, filsuf yang terkenal dengan sebutan dewa estetika, mengatakan bahwa seni dan masyarakat merupakan hubungan yang tak terpisahkan, seni integral dengan masyarakatnya, satu konsep yang tidak terpisahkan, baik seni dan masyarakat terwujud di antaranya hubungan tak terpisahkan antara manusia dan lingkungannya.
Masyarakat dan seni memang berbeda dalam pengertiannya, tetapi sebenarnya keduanya memiliki interaksi psikis. Sekelompok seniman adalah sekelompok pemikir dan idea dengan berbagai manifestasinya yang mengarah ke bagian yang lebih dalam.


2. Seni dan seni rupa

Karya seni lahir dari seniman yang kreatif, artinya seniman selalu berusaha meningkatkan sensibilitas dan persepsi terhadap dinamika kehidupan masyarakat.

a. Subject matter
Subject matter atau tema pokok ialah rangsang cipta seniman dalam usahanya untuk menciptakan bentuk-bentuk yang menyenangkan. Adakalanya seorang seniman mengambil alam sebagai obyek karyanya, tetapi karena adanya pengolahan dalam diri seniman tersebut maka tidaklah mengherankan apabila bentuk (wujud) terakhir dari karya ciptaannya akan berbeda dengan obyek semula.

b. Bentuk
Pada dasarnya apa yang dimaksud dengan bentuk (form) adalah totalitas dari pada karya seni. Bentuk fisik sebuah karya dapat diartikan sebagai konkritisasi dari subject matter tersebut.

c. Isi atau makna
Isi atau arti sebenarnya adalah bentuk psikis dari seorang penghayat yang baik. Seorang seniman pencipta adalah penghayat yang pertama yang punya bentuk psikis di dalam dunia idenya yang berhak atas karyanya dalam mengubah atau menambah.

d. Fungsi seni
Keberadaan karya seni secara teoretis mempunyai tiga macam fungsi, yaitu: fungsi personal, fungsi sosial, dan fungsi fisik.

- Fungsi personal
Manusia dikenal sebagai makhluk sosial sekaligus sebagai makhluk individu. Dikatakan makhluk individu karena setiap manusia mempunyai eksistensi pribadi yang tidak dapat dimiliki oleh manusia lain. Manusia sebagai subyek yang terikat oleh datu budaya, maka dibutuhkan alat komunikasi dengan subyek lain dengan sebuah media atau bahasa. Karya seni sebagai perwujudan perasaan dan emosi mereka adalah salah satu dari pengertian bahasa atau media.

- Fungsi sosial
Manusia sebagai makhluk sosial, maka manusia di samping mempunyai tanggung jawab atas dirinya ia terikat pula oleh lingkungan sosialnya. Semua karya seni yang berkaitan dengannya akan juga berfungsi sosial, karena karya seni diciptakan untuk penghayat. Pengertian fungsi seni sebagai fungsi sosial merupakan kecenderungan atau usaha untuk mempengaruhi tingkah laku terhadap kelompok manusia

- Fungsi fisik
Fungsi fisik yang dimaksud adalah kreasi yang secara fisik dapat digunakan untuk kebutuhan praktis sehari-hari. Seni bangunan, furnitur, dekorasi, busana, aksesori, dan segala macam perabot rumah tangga serta hampir semua perabot atau alat yang dibutuhkan manusia, dibuat lewat rencana (desain) yang berorientasi pada guna dan estetika.

e. Fungsi seni rupa
Seni rupa ditinjau dari segi fungsi terhadap masyarakat atau kebutuhan manusia, seni rupa secara teoretis dibagi menjadi dua kelompok, yaitu seni murni (fine art) dan seni terapan (applied art). Seni murni (fine art) adalah kelompok karya seni rupa yang bertujuan untuk memenuhi kebutuhan spiritual. Seni terapan (applied art) yaitu kelompok karya seni rupa yang bertujuan untuk memenuhi kebutuhan praktis atau memenuhi kebutuhan sehari-hari secara materiil.

- Seni lukis
Seni lukis dapat dikatakan sebagai suatu ungkapan pengalaman estetik seseorang yang dituangkan dalam bidang dua dimensi (dua matra), dengan menggunakan medium rupa, yaitu garis, warna, tekstur, shape, dan sebagainya. Pada mulanya seni gambar merupakan karya ilustrasi, yaitu untuk menerangkan atau memberi keterangan terhadap orang lain atau lebih tepat sebagai gambar keterangan. Di sisi lain menggambar merupakan medium untuk mencapai simbol figuratif dalam pencapaian bentuk seni lukis.

- Seni patung
Seni patung mempunyai masalah yang sama seperti halnya seni lukis. Seni patung merupakan seni murni sejauh ia tidak melibatkan diri pada pertimbangan untuk kebutuhan terapan. Seni patung yang cenderung mempertimbangkan nilai guna atau nilai terapan, adalah seperti yang kita lihat pada bentuk arca yang terdapat pada candi-candi atau rumah-rumah pemujaan.

- Seni grafis

Seni grafis pada dasarnya menitikberatkan pada teknik cetak mencetak, sebagai usaha untuk dapat memperbanyak atau melipatgandakan sesuatu, baik gambar atau tulisan dengan cara tertentu pula. Kalau seni grafis terapan sangat berkepentingan dengan fungsi guna, maka seni grafis murni tidak. Seni grafis murni sama dengan seni murni lainnya seperti seni lukis dan

- Seni arsitektur

Seni arsitektur sebagai seni terapan merupakan karya seni pakai yang paling serius dan kompleks permasalahannya, mengingat arsitektur merupakan karya monumental karena tidak setiap saat dapat diubah seperti mengubah rumah salju. Seorang arsitek tidak lepas perhatiannya dari kaidah-kaidah estetis atau keindahan bangunannya. Oleh karena bangunan itu merupakan satu karya tiga dimensional, maka arsitek selalu memperhitungkan apakah bentuk bangunannya sudah cukup indah bila dipandang dari berbagai arah, bagaimana komposisi ruangan dalamnya, mobilisasinya.

3. Struktur seni rupa

Seni rupa sebagai salah satu cabang kesenian memiliki peranan yang cukup penting di dalam kehidupan manusia. Seni rupa merupakan salah satu kesenian yang mengacu pada bentuk visual atau sering disebut bentuk perupaan, yang merupakan susunan atau komposisi atau satu kesatuan dari unsur-unsur rupa.

a. Unsur-unsur rupa (unsur desain)

- Garis
Sementara kata orang, bahwa garis merupakan dua titik yang dihubungkan. Barangkali memang betul bahwa garis merupakan medium yang paling sederhana, sebagai pencapaian yang paling ekonomis dibanding dengan medium lain. Garis mempunyai peranan sebagai garis, yang kehadirannya sekedar untuk memberi tanda dari bentuk logis, seperti yang terdapat pada ilmu-ilmu eksakta atau pasti. Garis di samping memiliki peranan juga mempunyai sifat formal dan non formal, misalnya garis-garis geometrik yang bersifat formal, beraturan dan resmi.

- Shape (bangun)
Shape adalah suatu bidang kecil yang terjadi karena dibatasi oleh sebuah kontur (garis) dan atau dibatasi oleh adanya warna yang berbeda atau oleh gelap terang pada arsiran atau karena adanya tekstur. Shape (bidang) yang terjadi: shape yang menyerupai wujud alam (figur), dan shape yang tidak sama sekali menyerupai wujud alam (non figur).

- Texture (rasa permukaan bahan)
Texture (tekstur) adalah unsur rupa yang menunjukkan rasa permukaan bahan, yang sengaja dibuat dan dihadirkan dalam susunan untuk mencapai bentuk rupa, sebagai usaha untuk memberikan rasa tertentu pada permukaan bidang pada perwajahan bentuk pada karya seni rupa secara nyata atau semu.

-Warna
Warna sebagai salah satu elemen atau medium seni rupa, merupakan unsur susun yang sangat penting, baik di bidang seni murni maupun seni terapan. Warna sebagai warna: kehadiran warna tersebut sekedar untuk memberi tanda pada suatu benda atau barang, atau hanya untuk membedakan ciri benda satu dengan lainnya tanpa maksud tertentu dan tidak memberikan pretensi apapun. Warna sebagai representasi alam: kehadiran warna merupakan penggambaran sifat obyek secara nyata, atau penggambaran dari suatu obyek alam sesuai dengan apa yang dilihatnya. Warna sebagai tanda atau lambang atau simbol: kehadiran warna merupakan lambang atau melambangkan sesuatu yang merupakan tradisi atau pola umum.

b. Dasar-dasar penyusunan (prinsip desain)
Penyusunan atau komposisi dari unsur-unsur estetik merupakan prinsip pengorganisasian unsur dalam desain.
- Harmoni (selaras)
Harmoni atau selaras merupakan paduan unsur-unsur yang berbeda dekat. Jika unsur-unsur estetika dipadu secara berdampingan maka akan timbul kombinasi tertentu dan timbul keserasian (harmoni).
- Kontras
Kontras merupakan paduan unsur-unsur yang berbeda tajam. Kontras merangsang minat, kontras menghidupkan desain, kontras merupakan bumbu komposisi dalam pencapaian bentuk.
- Repetisi (irama)
Repetisi merupakan pengulangan unsur-unsur pendukung karya seni. Repetisi atau ulang merupakan selisih antara dua wujud yang terletak pada ruang dan waktu, maka sifat paduannya bersifat satu matra yang dapat diukur dengan interval ruang, serupa dengan interval waktu antara dua nada musik beruntun yang sama.
-Gradasi
Gradasi merupakan satu sistem paduan dari laras menuju kontras, dengan meningkatkan masa dari unsur yang dihadirkan. Gradasi merupakan paduan dari interval kecil ke interval besar, yang dilakukan dengan penambahan atau pengurangan secara laras dan bertahap.

c. Hukum penyusunan (azas desain)
- Kesatuan (unity)
Kesatuan adalah kohesi, konsistensi, ketunggalan atau keutuhan, yang merupakan isi pokok dari komposisi. Kesatuan merupakan efek yang dicapai dalam suatu susunan atau komposisi di antara hubungan unsur pendukung karya, sehingga secara keseluruhan menampilkan kesan tanggapan secara utuh.


- Keseimbangan (balance)
Keseimbangan dalam penyusunan adalah keadaan atau kesamaan antara kekuatan yang saling berhadapan dan menimbulkan adanya kesan seimbang secara visual ataupun secara intensitas kekaryaan. Keseimbangan formal adalah keseimbangan pada dua pihak berlawanan dari satu poros. Keseimbangan informal adalah keseimbangan sebelah menyebelah dari susunan unsur yang menggunakan prinsip susunan ketidaksamaan atau kontras dan selalu asimetris.

- Simplicity (kesederhanaan)
Kesederhanaan dalam desain, pada dasarnya adalah kesederhanaan selektif dan kecermatan pengelompokan unsur-unsur artistik dalam desain. Ada tiga aspek kesederhanaan, yaitu kesederhanaan unsur, kesederhanaan struktur, dan kesederhanaan teknik.

- Emphasis (aksentuasi)
Desain yang baik mempunyai titik berat untuk menarik perhatian. Perulangan unsur desain dan perulangan warna dapat memberi penekanan pada unsur tersebut. Aksentuasi melalui susunan: tata letak dari unsur visual dengan benda-benda lain yang diatur sedemikian rupa sehingga mengarahkan pandangan orang ke tempat atau obyek yang menjadi pusat perhatian.

d. Proporsi
Proporsi dan skala mengacu kepada hubungan antara bagian dari suatu desain dan hubungan antara bagian dengan keseluruhan. Warna, tekstur, dan garis memainkan peranan penting dalam menentukan proporsi. Proporsi tergantung kepada tipe dan besarnya bidang, warna garis dan tekstur dalam beberapa area.


4. Seni Lukis Indonesia

a. Masa perintisan (1807-1880)
Hadirnya kesenian dalam masyarakat Indonesia sekarang ini, seniman dalam kedudukannya sebagai pembentuk gaya dalam penciptaan karya seni, tercermin citra budaya serta corak kepribadian bangsa. Setiap situasi, ruang, dan waktu akan memberikan pengaruh penciptaan karya para seniman pada zamannya. R Saleh Syarif Bustaman (1807-1880), dinyatakan sebagai perintis perjalanan seni lukis modern Indonesia, karena ia telah menanamkan tonggak pertama perjalanan seni lukis Indonesia. Corak dan gaya lukisan R Saleh menggambarkan wajah manusia dan simbol-simbol dalam kehidupan dengan gaya naturalis yang berjiwa romantis, atau dengan kata lain naturalisme romantis.

b. Masa hindia jelita (1908-1937)
Masa hindia jelita atau masa hindia indah atau mooi indie atau apapun namanya, masa itu merupakan masa yang menonjolkan sesuatu sifat yang diakibatkan sebagai suatu cara melihat dan memandang dunia sekelilingnya dari aspek visualnya. Para seniman pada masa ini memandang gejala sekelilingnya dari sudutnya yang molek, cantik, indah, permai dalam memuja alam Indonesia, terutama gunungnya, laut, sawah, bunga-bunga, manusia terutama gadis-gadis Indonesia yang cantik. Ciri khas dalam perwarnaan karya seniman hindia jelita lebih menyala untuk meraih kejelitaan baik pada pemandangan maupun untuk melukis gadis-gadis dan pemandangan alam yang lain. Tokoh-tokohnya antara lain Abdullah Suryosubroto, Basuki Abdullah, Wakidi, Pirngadi, Ernest Dezentye, dan lainnya.

c. Masa persagi dan revolusi (1937-1950)
Lahirnya Persatuan Ahli Gambar Indonesia (Persagi) pada tahun 1937 sebenarnya merupakan mata rantai dari lahirnya Budi Utomo (1908), Pendidikan Taman Nasional (1922), Sumpah Pemuda (1928), serta Pujangga Baru yang bercita-cita tentang sastra Indonesia. Persagi merupakan salah satu perkumpulan yang merintis kesatuan pelukis-pelukis Indonesia untuk bekerja sama guna melahirkan “corak persatuan nasional”. Semangat kebangsaan yang tumbuh dalam seni lukis, berlanjut terus di masa pendudukan Jepang, baik yang berkelompok dalam Keimin Bunka Shidosho maupun bagian seni rupa dari badan Pusat Tenaga Rakyat (1942-1945). Munculnya beberapa sanggar seni rupa di Indonesia setelah proklamasi kemerdekaan, muncullah karya-karya yang bertemakan perjuangan sebagai ekspresi semangat perjuangan dalam menghadapi perang mempertahankan kemerdekaan.

d. Periode kekinian

- Lahirnya akademi (seputar tahun 1950)
Modernisasi dalam bidang kesenian merupakan pencerminan dari usaha-usaha pembaharuan, pencarian kemungkinan-kemungkinan baru pengkayaan media ekspresi, dan penjelajahan wawasan kesenian. Aspirasi dan pemikiran tersebut melahirkan gagasan untuk mendirikan sekolah-sekolah seni. Seputar tahun 1950 lahirlah beberapa sekolah tinggi seni rupa di Indonesia. Berbeda dengan pembinaan di sanggar-sanggar, pembinaan pada sekolah tinggi seni rupa lebih metodis dan ilmiah.

- Pengaruh pergolakan politik seputar 1965
Masa ini meliputi kurun waktu sekitar tahun enam puluhan, hingga runtuhnya orde lama pada tahun 1966. benturan pandangan politik yang dijelmakan dalam kegiatan partai politik, mencuat secara berlebihan dan merembes ke dalam kreativitas seni, sampai pertengkaran dan perdebatan politik aktual menjadi pertengkaran seni, bahkan dengan pengerahan massa. Eksistensi seniman terpecah belah, kreativitas terlena dalam kepentingan politik dan bukan lagi merupakan kepentingan pribadinya sebagai seniman.

- Masa sesudah tahun 1965
Masa ini meliputi kurun waktu setelah lahirnya orde baru di Indonesia pada tahun 1966. kebebasan kreativitas melonjak ke depan meninggalkan penggemarnya. Ada dua masa yang perlu dicatat dalam kurun waktu terakhir ini, yaitu “Gerakan Seni Rupa Baru” di mana kebebasan kreatif mengalami puncak idealisme. Masa yang kedua adalah masa “Globalisasi Seni Lukis”, yaitu pada saat para seniman dihadapkan pada satu kenyataan ekonomi dunia atau dengan kata lain seniman adalah milik konglomerat.

e. Catatan tentang gerakan seni rupa baru
Ada semacam pertentangan antara kaum seni rupawan yang dianggap perintis, dan seniman pada gerakan seni rupa baru merasa dipagari kreativitasnya. Terdapat dua pola pikiran atau gagasan dalam gerakan seni rupa baru Indonesia. Pola pikiran pertama yang cenderung mencari faktor penyebab mandeknya perkembangan seni rupa Indonesia. Pola pemikiran kedua adalah keinginan untuk menghadirkan pembaharuan, demi perkembangan seni rupa itu sendiri, yang lebih menekankan pada pencarian konsepsi-konsepsi baru dalam berkarya.

f. Catatan tentang boom seni lukis Indonesia
Boom seni lukis Indonesia yang sering dibicarakan pada awal 1990-an, terjadi pada golongan atau rumpun seni lukis tertentu. Seluruh masa itu ditandai oleh peningkatan jumlah lukisan yang diperjualbelikan dan sangat laku. Terbukti ada peningkatan jumlah dan frekuensi pameran, pertumbuhan galeri komersial, pertumbuhan sponsor pameran dan bertambahnya kolektor lukisan.
Saat itu pertumbuhan ekonomi luar biasa, dan di sementara wilayah di Indonesia dibangun gedung-gedung modern dengan pelengkapan yang serba modern pula. Tumbuh kebutuhan akan lukisan untuk mengisi dinding berbagai bangunan, yaitu lukisan yang dapat memenuhi kebutuhan itu. Lukisan harus sesuai dengan estetika ruangan, cita rasa rancangan interior yang berlaku saat itu, serta lukisan yang pantas, yaitu sesuai dengan harga gedung dan ruangan beserta perlengkapannya.
Pada masa ini terdapat unsur pendukung kecuali pelukis, yang merupakan unsur baru yang muncul dan tumbuh bersama boom. Terdapat dua gejala yang timbul pada masa boom seni lukis Indonesia, gejala pertama yaitu gejala kemiskinan seni lukis, pemiskinan dalam ragam atau macam medium dan teknik yang semakin menyusut. Gejala kedua yaitu bahwa boom lukisan merupakan peristiwa kesenian, tetapi juga menjadi mode kaum berduit. Boom sebuah karya seni tidak sepenuhnya diukur dari nilai estetika secara an sich, tetapi dipertimbangkan dengan nilai mata uang dari harga sebuah karya seni.

Daftar Pustaka
Dharsono Sony Kartika, 2004, Seni Rupa Modern, Bandung: Penerbit Rekayasa Sains

Seni, Lingkungan, dan Skizofrenia

BAMBANG SUGIHARTO Pengajar Filsafat di Unpar dan ITB, Bandung

Hal yang demikian dekat dengan kita sering kali justru jauh dari kesadaran. Layaknya ikan sulit menyadari dan memahami air, manusia modern pun harus melalui perjalanan panjang berputar untuk menyadari pentingnya lingkungan.
Manusia modern dan lingkungan alam memang senantiasa berada dalam tegangan: antara melepaskan diri darinya atau justru meleburkan diri ke dalamnya, antara titik berat pada kultur atau menjadi bagian dinamis dalam natur. Dunia seni adalah manifestasi menarik dari tegangan macam itu.
Di satu pihak manusia modern menyadari misteri, keunikan, dan pesona alam semesta umumnya melalui representasi artistiknya berupa lukisan, foto, musik, video ataupun film; di pihak lain kerangka artistik modern sendiri justru bertendensi kuat kian menghilangkan lingkungan alam sebagai bahan refleksinya (sebagai subject matter-nya). Ketika terlepas dari agama dan menjadi suatu wilayah otonom tersendiri dalam kiprah peradaban manusia, seni modern berangsur-angsur kian terlepas dari eksterioritas dan menyuruk kian mendalam ke wilayah interioritas, terperangkap dalam inflasi individu, dan memasuki wilayah skizofrenia yang ambigu dan kadang berbahaya.
Modernitas, estetika, dan alam
Sekurang-kurangnya sejak abad ke-17 hingga ke-18, dualisme Cartesian demikian kuat menguasai sikap manusia terhadap lingkungan alam. Alam adalah realitas wadag material, res extensa; sedangkan manusia, terutama akalnya, adalah realitas batin, pikiran-non-material, res-cogitans. Dualisme yang telah mengompori kinerja ilmiah awal ini lantas berselingkuh dengan kepentingan teknologi dan kapitalisme sehingga kian terlembagalah pola sikap Subyek-Obyek: manusia adalah subyek, alam adalah obyek belaka, medan untuk ditaklukkan, dieksplorasi, dan dieksploitasi. Maka, alam kehilangan pesona magisnya, kehidupan kehilangan misterinya. Pusat gravitasi adalah manusia dengan segala kepentingannya.
Di sisi lain, sikap epistemologis-teknis macam itu diimbangi oleh sikap estetis yang justru menghargai lingkungan alam. Memang tampak paradoks. Perspektif klasik estetika abad ke-18, yang menggumpal pada Immanuel Kant, meyakini bahwa yang pokok dalam apresiasi estetis adalah sikap ”tanpa kepentingan” (disinterestedness), yaitu sikap yang melepaskan diri dari kepentingan sehari-hari yang teknis dan praktis atau pun kepentingan pribadi. Lingkungan, baik urban, rural maupun belantara hutan, dilihat sebagai sesuatu yang sublim dan indah. Namun, di sini lingkungan alam sebenarnya tetaplah juga diapresiasi secara formalistik sebagai medan obyek, dan terutama sebagai lanskap, yang berkarakter picturesque. Pada abad lalu memang ada juga orang seperti JJ Rousseau yang melihat lebih jauh, yakni melihat alam sebagai setting kodrat manusia yang lebih otentik ketimbang setting kultural iptek modern, yang dianggapnya meracuni potensi-potensi natural manusia. Namun, pandangan macam ini baru menemukan gaungnya yang tepat kelak di abad ke-19 pada masa Romantik.
Romantisisme abad ke-19 memang jatuh cinta pada alam. Henry David Thoreau atau juga John Muir, misalnya, dengan cara yang berbeda menekankan pentingnya interaksi dengan alam liar. Alam liar bagi mereka lebih tinggi daripada peradaban dan kultur manusia. Interaksi noneksploitatif dengan alam itu akan membawa transformasi penting bagi dunia manusia. Darwin bahkan mendudukkan manusia sekadar sebagai salah satu unsur saja dalam alam. Sementara alam sudah dilihatnya sebagai berbagai unsur yang saling tergantung satu sama lain. Di sisi lain para pengkritik budaya modern teknologis macam Herder, Goethe, Humboldt ataupun Schiller kendati cenderung menganggap modernitas sebagai dangkal dan nonreflektif, toh tetap juga memberi prioritas lebih pada kultur ketimbang natur, pada seni ketimbang teknologi. Seperti halnya Hegel, yang dalam sistem filsafatnya juga tetap memprioritaskan realitas artifaktual sebagai antitesis atas realitas natural. Tapi, pada Nietzsche agak lain. Dalam kerangka berpikirnya kultur, seni, dan natur bukanlah hal-hal bertentangan. Ketika dikritiknya bahwa peradaban modern (Zivilisation) adalah proses de-naturalisasi insting dan de-intellektualisasi kultur, maka bagi Nietzsche kultur yang sebenarnya haruslah merupakan manifestasi dari insting natural daya-daya hidup, dan itu pula kekuatan yang mesti diungkapkan seni. Kendati semua itu secara umum pola apresiasi terhadap alam dalam karya seni tetaplah: subyek terhadap obyek artifaktual seni. Artinya, alam tampil dalam representasi artistiknya.
Di penghujung abad ke-19 tendensi ambivalen macam di atas itu mulai menghilang dalam style baru yang muncul saat itu: ”impresionisme”. Sebabnya karena alam sendiri sebagai obyek mulai menyublim di sana. Munculnya kamera foto saat itu mengakibatkan pola ”mimetis” dan konsep ”representasi” dalam kiprah seni menjadi problematis. Maka, para seniman lantas asyik mempersoalkan misteri ”persepsi” itu sendiri. Timbullah gagasan bahwa melukis, misalnya, bukan berarti menangkap realitas wujud dalam arti harfiah fisiknya, melainkan menangkap kesan sesaat: menangkap cuaca, cahaya, kabut, udara, kontur imaji total dalam momen-momen yang berlari, kesemantaraan yang tidak abadi. Ada pergeseran titik berat di sana: dari visualitas ke impresi jiwa; dari benda ke suasana.
Pergeseran dari eksterioritas ke interioritas ini makin radikal dalam ”ekspresionisme” yang masuk lebih ke dalam, memberi tekanan berat pada reaksi mental, emosi, gelegak energi si seniman pribadi. Maka, atas nama ekspresi, obyek pun didistorsi sesuka senimannya. Kalaupun alam menjadi obyeknya, bukan alam itu sendiri yang penting, melainkan disposisi mental sang seniman (Van Gogh, dan sebagainya), atau upaya untuk mengundang reaksi emosi dan rasa dari sang pemirsa (Matisse, Derain, dan sebagainya). Dan tendensi ini kian mengkristal dalam ”abstraksionisme”. Di sana aspek representasi obyek di luar hilang sama sekali. Yang terjadi lantas hanyalah eksplorasi ruang batin pada tingkatnya yang paling sublim, gelap, dan misterius yang tak terpikirkan sekaligus tak terelakkan (Kandinsky, Rothko, Pollock, dan sebagainya).
Ironisnya, di sisi lain abstraksionisme adalah juga renungan atas elemen-elemen dasar bentuk, rupa, dan materialitas itu sendiri juga (Malevich, Mondrian, Kurt Schwitters, dan lain-lain). Maka, yang terjadi di sini sebenarnya adalah proses interiorisasi subyek sekaligus penyelaman ke balik obyek. Kalaupun masih ada jejak-jejak obyek luaran di sana, itu muncul dalam bentuk reduksinya ke dalam elemen-elemen dasarnya belaka.
Di abad ke-20, sejak pasca-Perang Dunia I dan II, Dadaisme, dan revolusi kaum muda tahun 1960-an terjadi perubahan mendasar ihwal hubungan antara seni dan lingkungan di luarnya. Dari sudut bentuk terjadi eksplorasi segala kemungkinan baru, yang bahkan menerabas segala batasan kategorial modern. Ini khususnya terasa intens dalam tendensi Avantgardisme. Lukisan dua dimensi dibongkar, berubah menjadi ”kolase”; kolase menjadi ”asemblase” tiga dimensi; asemblase tumpah ke luar bidang kanvas dan tergerai di lantai menjadi ”instalasi”; instalasi menjelma menjadi gerak dalam ”performance-art” atau happening. Di awal abad ke-21 performance-art akhirnya ke luar dari ruang eksklusifnya menjadi aksi sosial dalam segala banalitas konteksnya. Yang terjadi di sini adalah lenyapnya batas angker antara dunia seni yang eksklusif dan situasi sehari-hari. Pola apresiasi seni pun berubah total bukan lagi sekadar Subyek terhadap Obyek, melainkan Subyek terhadap Setting. Seni menjadi peristiwa kolektif dalam setting multisensoris totalnya.
Permasalahannya
Ketika seni menyatu kembali dengan denyut kehidupan sehari-hari, tentu peluang bagi seni untuk mencebur kembali dengan alam pun besar. Masalahnya adalah bahwa sejak impresionisme hingga berbagai bentuk avantgardisnya, seni modern telanjur demikian kuat terperangkap dalam kerangka interioritas dunia manusia. Seni mengalami ”inflasi individu” sedemikian hingga terasa narsistik. Ia menjadi semacam petualangan ke dalam lapisan-lapisan psike paling tersembunyi dalam diri, wilayah gelap yang paling tabu, tak terduga dan liar (Rudolf Schwarzkogler yang menyayati kemaluannya hingga mati, misalnya, atau Vito Acconci yang merekam dirinya bermasturbasi). Ia bermain dengan ambang batas daya toleransi kejiwaan dan kebertubuhan (Stelarc yang menggantung tubuhnya dengan kail-kail besar, misalnya), serta mengeksplorasi wilayah insting-insting paling purba, ganas, dan keras.
Konsekuensi dari ini semua adalah makin lenyapnya alam dalam karya seni dan sekaligus makin besar tendensi skizofrenia alias kegila-gilaan di sana. Karya seni bukan hanya mengeksplorasi wilayah kegilaan, melainkan sendirinya juga berkarakter skizofrenik. Tengoklah karya-karya macam body-art dari Chris Burden (yang menembak dirinya sendiri), atau performance-art dari Carolee Schneeman (yang memasuk-keluarkan benda tertentu ke dalam vaginanya), teater Artaudian yang mengeksplorasi impuls-impuls tubuh dan emosi paling liar, atau film-film Peter Greenaway dan Jarman yang persis memainkan ambiguitas pengalaman-pengalaman liminal tubuh, emosi, dan imajinasi. Tak mengherankan bahwa akhirnya dunia seni macam ini melahirkan pula seni-mayat seperti yang dipamerkan seniman ahli bedah Günther von Hagens, yang karya seninya berupa 200-an mayat yang telah diplastinasi menjadi berbagai patung tubuh. Semua gejala ini akhirnya juga memaksa para apresiator awam memasuki ambang-batas daya tahan psikenya sendiri juga.
Yang terjadi di sini lantas bukan hanya seni kehilangan dimensi transendensi, melainkan bahwa ia tenggelam dalam medan imanensi: imanensi dunia manusia, tetapi juga imanensi dunia seni yang eksklusif itu sendiri. Seni terus-menerus memperkarakan dirinya sendiri saja, lantas menjadi begitu akrab bukan saja dengan naluri kegilaan, melainkan juga dengan naluri-naluri kematian. Bukan hanya para senimannya menyiksa diri sampai mati atau mengeksplorasi kematian, setiap aliran pun saling mencurigai bahkan saling bantai. Yang muncul, khususnya dalam Avantgardisme, akhirnya hanyalah sensasi demi sensasi, tanpa isi. Tidaklah mengherankan bahwa seni modern sendiri pun akhirnya ”mati” (kata Arthur Danto).
Dalam seni modern memang kategori ”keindahan” tak lagi dipedulikan, diganti ”kebermaknaan”, ”kebenaran” (kebenaran eksistensial) ataupun sensasi permukaan (the erotics , kata Susan Sontag). Dan memang sulit sekali mengapresiasi keindahan dalam karya-karya modern yang kadang demikian brutal itu. Tentu saja fokus kuat pada kebenaran eksistensial ini bukan tanpa nilai. Ia telah membawa seni memasuki medan reflektivitas manusia ke tema-tema dan kedalaman paling tersembunyi dan paling tak terduga, yang dalam karya-karya besar klasik tak pernah dieksplorasi dan diolah secara demikian eksplisit.
Dan fokus terhadap kebenaran eksistensial itu pula yang akhirnya telah membawa seni melebur kembali dalam banalitas hidup sehari-hari yang pantas disyukuri. Sayangnya, ketika ia telah menyatu dengan kehidupan sehari-hari ia cenderung menjadi gerakan-gerakan sosial biasa. Pada titik ini ia pun terancam kehilangan kekuatan craftsmanship-nya, dan dengan itu kehilangan pula daya magis-metaforiknya, lantas jatuh menjadi sekadar aktivisme yang kelewat harfiah belaka. Singkatnya, permasalahan seni modern terletak pada narsisismenya yang cenderung skizofrenik, keterkungkungannya pada imanensi yang akhirnya sering jatuh menjadi sekadar rangkaian sensasi, hilangnya sisi ”keindahan” dan lemahnya kekuatan metaforis-magis.
Aspek keindahan dan kekuatan metaforik mestinya tetaplah penting dalam seni. Hanya saja, keindahan barangkali kini perlu juga dipahami secara lebih luas. Bukan sekadar keindahan kompositoris atau picturesque bentuk visual, tetapi terutama keindahan dalam arti kemampuan suatu gubahan olah-bentuk untuk menyentuh lapisan batin paling dalam dan efektif dalam membuka kesadaran. Keindahan penting karena ia adalah cara paling efektif dimensi transendensi menyentuh indra batin kita; sekaligus cara manusia keluar dari keterpenjaraan intern-nya dan menyatu dengan Ruh Semesta, dengan Anima Mundi, dengan dunia batin alam yang lebih luas. Sedang metafor penting karena ia merangsang proses transformasi kesadaran ke tingkat lebih tinggi, proses de-literalisasi kenyataan sehari-hari, yang memungkinkan kita melihat hal yang lebih jauh dan lebih besar di balik hal-hal fisik yang tampak sepele. Bila keindahan dan kekuatan metaforik tetap diperhitungkan dalam praktik berkesenian, maka lebih mudah agaknya seni menggamit kembali realitas di luarnya: lingkungan semesta, bahkan keilahian kosmik transendental.

Kiblat baru berkesenian
Ketika periode avantgard modern berlalu, dalam kiprah seni kontemporer pascamodernisme hari ini sebenarnya kepedulian terhadap alam memang makin besar. Alam digunakan sebagai bagian integral dari patung, tarian, teater, ataupun instalasi, dan menjadi inspirasi utama pula dalam berbagai bentuk kerja desain. Sepertinya seniman mutakhir saat ini tak lagi sedemikian terkungkung oleh individualitasnya. Sosok karya seni pun bukan lagi semata berupa entitas artifaktual mandiri, melainkan sering pula berupa proses dan interaksi. Nilai karya seni Christo yang umumnya berupa instalasi-instalasi raksasa dalam setting alam, misalnya (layar raksasa yang membentangi perbukitan atau membingkai pulau-pulau), terletak bukan saja pada nilai kekaryaan monumental dari seorang seniman bernama Christo, melainkan juga pada daya gugah puitiknya bagi kesadaran pemirsa terhadap alam, sekaligus pada seluruh proses kerja Christo yang melibatkan demikian banyak pihak dan tahapan proses birokrasi. Totalitas proses dan interaksi macam itu pula yang menandai kebermaknaan proyek-proyek teater-lingkungan dari seniman macam Richard Schechner, proyek tarian Sardono W Kusumo, aksi tanam pohon Tisna Sanjaya, kiprah Arahmaiani di desa-desa di Jawa Tengah, atau bahkan dalam pembuatan film-film Garin Nugroho, misalnya. Dan berkat makin gencarnya gerakan environmentalisme, kiprah kesenian pun makin banyak menggarap tema dan perspektif lingkungan.
Namun, dalam kaitan dengan lingkungan, barangkali yang lebih radikal menentukan keterkaitan antara seni dan lingkungan sebenarnya adalah imajinasi metafisik di balik konsep ”seni” dan ”berkesenian” itu sendiri. Selagi seni tetap dimengerti sebagai reflektivitas dan virtuositas individual seperti dibayangkan dalam kerangka estetika Aufklärung Kantian, maka seni akan tetap urusan para genius yang langka, suatu kemewahan elitis, yang hanya pantas dipandangi di etalase galeri, museum ataupun panggung-panggung kesenian bergengsi, tanpa sungguh-sungguh bisa diapresiasi dan dipahami kebanyakan orang, tanpa relevansi dengan kehidupan sehari-hari.
Pada titik ini pandangan metafisik tradisional pramodern tentang kesenian justru menjadi sangat menarik dan relevan. Seperti masih banyak kita saksikan di daerah-daerah, macam di Bali, Toraja, ataupun Asmat, seni bukanlah semata-mata perkara teknis, skill, dan virtuositas karenanya bukanlah hanya urusan para genius. Seni bukan pula soal perspektif disinterested berjarak, melainkan justru sebaliknya, soal keterlibatan total dalam lingkungan, yang dasarnya adalah imajinasi metafisik yang berkarakter monistik: bahwa manusia adalah bagian dari totalitas kenyataan kehidupan yang satu jua; bahwa segenap realitas adalah totalitas yang berjiwa.
Di sini seni lantas adalah perayaan hubungan ruhani kosmik itu, adalah aktivitas-aktivitas olah-bentuk dalam rangka memberi dimensi batin pada benda-benda dan peristiwa. Dalam kerangka macam ini, seni lantas adalah urusan semua orang. Seni bukan pertama-tama soal kepiawaian, melainkan soal ritual dan perayaan. Kecanggihan teknis bernilai dalam rangka intensifikasi perayaan itu. Dalam perspektif ini bukan para seniman yang merupakan manusia istimewa, melainkan setiap manusia adalah seniman istimewa. Yang dianggap karya seni pun bukan lagi sekadar obyek artifaktual tertentu, melainkan keseluruhan proses dan interaksi yang terjadi, keseluruhan unsur dan peristiwa. Seni bukan pula ekspresi pribadi yang idiocyncratic, melainkan proses artikulasi diri-komunal, yang setiap kali mendefinisikan ulang hakikat kesatuan dasariah antara manusia dan alam, realitas mikro dan realitas makro; proses me-recharge ruh individu maupun kolektif dengan menyatukannya setiap kali dengan Anima Mundi. Kesenian adalah aneka ritual yang setiap kali mengingatkan kembali misteri, kerumitan, keagungan, dan keindahan daya-daya kosmik transendental. Maka, di sini kepekaan estetik adalah sekaligus kepekaan terhadap yang sakral.
Maka, agaknya seni akan bisa lebih total menggamit kembali lingkungan alam kini hanya bila seni kontemporer dapat bersekutu kembali dengan khazanah dan worldview metafisik tradisional macam itu. Berbagai gejala ke arah sana telah muncul di mana-mana, entah dalam rupa ritualisme baru, performance art sebagai gerakan sosial atau pun berbagai eksperimen yang menyenyawakan ruh tradisional dengan seni kontemporer. Dan di sana yang menjadi kunci akhirnya adalah bahwa krisis ekologis fisik sebenarnya berakar pada masalah krisis spiritual. Bukanlah kebetulan bahwa ketika seni modern terlepas dari medan spiritual, ia menjadi teramat akrab dengan naluri-naluri kematian, penghancuran, dan kegilaan. Namun, di sisi lain ini tak mesti berarti bahwa lantas seni mesti dikait-kaitkan dengan agama.
Medan spiritual jauh lebih luas dan lebih misterius ketimbang yang sempat diartikulasikan oleh agama. Bahkan pada titik tertentu agama sebagai pelembagaan spiritualitas bisa justru mematikan dinamika spiritual yang otentik dan membunuh seni juga , atas nama legalisme formal, ritualisme, dogmatisme, dsb. Yang lebih dibutuhkan adalah bagaimana seni mampu di satu pihak mengartikulasikan gejolak batin kolektif yang otentik, di pihak lain sekaligus menghadirkan dimensi transendensi ke dalam realitas sehari-hari. Demikian transendensi, keindahan dan kekuatan metaforis agaknya bukanlah hal yang kedaluwarsa. Sebaliknya, itu tetaplah unsur-unsur esensial yang menjaga kebermaknaan dan kesehatan kesenian dan dunia manusia.

EKSPLOSI SEBAGAI BUNYI CITRA ESTETIS


Adalah estetika yang membangunkan kesadaran dalam keberadaan tentang apa dan siapa, serta mengapa dan hendak kemana yang selanjutnya bagaimana, inilah suatu rangkaian ideology filosofis tanpa akhir hingga membungkal atau mencairkan pikiran, bahkan bisa membuat benak ini membangkitkan rongga waktu lepas waktu akhirnya menjadi sebuah sumber ledakan. Sebab estetika harus dikembalikan pada sumbernya adi kodrati yang mendalam di alam faal pada posisinya menjadi suatu persepsi mulia bagi apa pun dan siapa pun yang menyelami di sana. Maka Estetika seharusnya dibunyikan dan selanjutnya menjadi sumber keberdayaan budi untuk berbunyi lantas didengar di segenap alam supaya menambah kekayaan bagi pengalaman, melainkan bukan menjadi sekadar suara untuk disuarakan yang kesannya artifisial tanpa maknawi hanya menyoal kepada kuantitas menjadikan ekstra investigasi yang akhirnya menggerek berpikir pula dalam lingkaran demi lingkaran yang terus menunjam dalam putaran hingga menelisik bergesek tajam menimbulkan percikan pada sumbu mendadak ledak. Sementara masih ada cita rasa yang mendamba di sumbernya adi kodrati dalam waktu sekuat budinya menggeser menghendak silih gubah menyulih alih tanpa kehilangan citra estetika. Walaupun ada permenungan bersisa menggelayut ragu, seberapa jauh orang akan mengenal pengetahuan tentang sifat dan ciri umum pada benda-benda dan di alam semesta serta merta dipandang keadaannya hingga dianggap sebagai sesuatu yang indah ?! Beruntunglah bahwa masih ada penyadaran diri, ialah sumbernya ada pada pikirannya yang mengusik sentuhkan apa-apa lalu motoriknya membangkitkan dinamika ketrampilannya dalam psikis mengalirkan ke tangan serta tubuhnya menggetarkan pada sumbunya yakni jiwa. Ini pun belum tercerahkan, lantas orang menghenyak terawangkan sejauhmana kedalaman lubuk hati diselami ketika bergiat seni, maka orang masih tetap bertanya: Apakah sesungguhnya peranan keindahan dalam hidup ini ?! Maka jawablah dan sertakan aspek kekayaan pengindraan, meliputi indra lihat; indra raba; indra keseimbangan; dan indra kinestetik.

Pameran bersama “hawa semu” yang memajang sederetan karya lukisan hasil garapan para Dosen dan Mahasiswa studio seni lukis STISI Bandung, menampilkan Windi Pratiwi; Fajar; Wibisono; Rizky Mora; Eri Suhartadi; Dodie Permana; Novian Gumilar; Alvan; Khalid Habib; Ucok; Sio Sandra Jaya; Edy Sugiharto; Handry; Pak Supri; Pak Dwija; dan Pak Husen. Ketika mengamati satu persatu karya-karyanya tak bisa langsung frontal-sektoral tercerna, melainkan terdapat muatan keadaan perhentian estetis yang nikmat di antaranya menjadi poin-poin catatan publik seni. Inilah hajat hidup budaya yang humanis dikemas dalam kegiatan pameran lukisan bertajuk “eksplosi yang berbunyi dalam citra estetis” mengalir dengan pelan tapi pasti pada hasil karya seni lukis garapannya. Lewat karya-karya lukisan yang dipajang ini, kita tak hanya menjumpai pelbagai ide konseptual, melainkan menimbulkan hentakan segar hingga membuat tersedak dan bila mungkin menguak siratan menyiram butiran ledak dari dan ke dalam pikiran. Seperti pada karya Fajar Wibisono berjudul: “Si Kecil Siap Untuk Berperang” garapan tahun 2008 (110 x 60 Cm) media campuran pada kanvas, menyoalkan ledakan sosial melawan keadaan ledakan apa pun kemudian terjerembab pada tata warna dominant warna oker mengingatkan pada karakter Tanah Air Indonesia. Sebab di lukisan yang dicipta inilah terkandung sumber “eksplosi” tersendiri dalam citra karakter psikis pada visual estetik yang ditampilkan, atau kemungkinan terdapat efek dari virtual sebagai empirical yang disajikan menjadi kedalaman imaji sehingga merangsang sebagai “eksplosi” yang menohok dalam pikiran, yang amat mungkin membuat diri kita bertanya-tanya sebagai eksplosi berpikir terhadap etika, pada karya lukisan yang berlatar warna gelap mengingatkan aksi “dugem” sebagaimana lukisan Windy Pratiwi berjudul: “Lady Night” garapan tahun 2008 (100 X 60 Cm) cat minyak pada kanvas. Lain halnya saat menatap lukisan Pak Supri berjudul : “Superman dan Anjing Gila” garapan tahun 2008 (100 X 100 Cm) akrilik pada kanvas, carut-marutnya tata warna dingin biru-hijau-putih dalam sabetan kuas seakan menghantam bagai cemeti pedih getir dan kesan cabikan sisa-sisa sapuan ekspresif cat tertinggal adalah citra estetik merupakan ledakan rasa dan pikiran kalut sebagai tanda manusia Indonesia di era reformasi. Di sinilah kesempatan menikmati citra seni lukis tak semata berdampak baik secara integratif dalam diri, melainkan juga akan terjadi ekses psikologis pada eksplorasi empirikal diri apresiator terbangkitkan sebagai “eksplosi” krusial di tengah mainstream budaya di antara peneguhan lokalitas terdekat sebagai “local genius”, tak bisa menghindar dari gejolak eskplosi sosiologis sebagai urbanisasi dan demografi yang semakin meledak-ledak (pada lukisan Ucok “Untitled”), eksplosi transportasi, eksplosi ekonomi pertanian (pada lukisan karya Sio Sandra Jaya dan Kholid “Rasiograsi Petani” lalu “Menunggu Benih Dalam Tempurung”), eksplosi etika transendental (pada lukisan Novian Gumilar “close up obyek kaki sujud”), dsb. Lalu apakah mungkin terjadi eksplosi kreasi yang tak terbendung, karena sumbernya pada pola pikir yang menggetarkan jiwa ?! Bukan tak mungkin lagi masih ada yang timbul eksplosi dari pikiran kita ini terhadap iklim kota Bandung, yang citra estetiknya terbabar pada karya Alvan berjudul: “Sunset-5” garapan tahun 2008 (120 X 95 Cm) akrilik pada kanvas. Semua merupakan pembelajaran apresiasi ketika menatap karya-karya lukisan yang dipamerkan ini, terusik dan terpulang pada diri kita masing-masing. Maka tak selalu harus dijawab, cukup kontemplatif bahwa hidup kini terkurung krusial dan selalu diancam eksplosi akhirnya membangkitkan krisis.

Jika diri kita secara kosmologis terjadi krisis, kita bisa terhibur melalui Greg Soetomo dalam “Krisis Seni Krisis Kesadaran” Kanisius 2003, hal. 17 menyatakan bahwa Karya Seni memiliki kualitas tunggal memuat nilai ganda: Pertama, karya seni hanya ada dalam satu ruang dan hanya ada dalam sebuah periode yang terbatas; Kedua, memandang karya seni yang terikat erat dengan sebuah ritus, lokasi dan keunikan yang spesifik dari seni menciptakan aura di sekitar seni.

sebuah kurasi pada pameran Explosive of Mind
oleh : Drs. Bambang Sapto, Mag.SR