11/14/2009

EKSPLOSI SEBAGAI BUNYI CITRA ESTETIS


Adalah estetika yang membangunkan kesadaran dalam keberadaan tentang apa dan siapa, serta mengapa dan hendak kemana yang selanjutnya bagaimana, inilah suatu rangkaian ideology filosofis tanpa akhir hingga membungkal atau mencairkan pikiran, bahkan bisa membuat benak ini membangkitkan rongga waktu lepas waktu akhirnya menjadi sebuah sumber ledakan. Sebab estetika harus dikembalikan pada sumbernya adi kodrati yang mendalam di alam faal pada posisinya menjadi suatu persepsi mulia bagi apa pun dan siapa pun yang menyelami di sana. Maka Estetika seharusnya dibunyikan dan selanjutnya menjadi sumber keberdayaan budi untuk berbunyi lantas didengar di segenap alam supaya menambah kekayaan bagi pengalaman, melainkan bukan menjadi sekadar suara untuk disuarakan yang kesannya artifisial tanpa maknawi hanya menyoal kepada kuantitas menjadikan ekstra investigasi yang akhirnya menggerek berpikir pula dalam lingkaran demi lingkaran yang terus menunjam dalam putaran hingga menelisik bergesek tajam menimbulkan percikan pada sumbu mendadak ledak. Sementara masih ada cita rasa yang mendamba di sumbernya adi kodrati dalam waktu sekuat budinya menggeser menghendak silih gubah menyulih alih tanpa kehilangan citra estetika. Walaupun ada permenungan bersisa menggelayut ragu, seberapa jauh orang akan mengenal pengetahuan tentang sifat dan ciri umum pada benda-benda dan di alam semesta serta merta dipandang keadaannya hingga dianggap sebagai sesuatu yang indah ?! Beruntunglah bahwa masih ada penyadaran diri, ialah sumbernya ada pada pikirannya yang mengusik sentuhkan apa-apa lalu motoriknya membangkitkan dinamika ketrampilannya dalam psikis mengalirkan ke tangan serta tubuhnya menggetarkan pada sumbunya yakni jiwa. Ini pun belum tercerahkan, lantas orang menghenyak terawangkan sejauhmana kedalaman lubuk hati diselami ketika bergiat seni, maka orang masih tetap bertanya: Apakah sesungguhnya peranan keindahan dalam hidup ini ?! Maka jawablah dan sertakan aspek kekayaan pengindraan, meliputi indra lihat; indra raba; indra keseimbangan; dan indra kinestetik.

Pameran bersama “hawa semu” yang memajang sederetan karya lukisan hasil garapan para Dosen dan Mahasiswa studio seni lukis STISI Bandung, menampilkan Windi Pratiwi; Fajar; Wibisono; Rizky Mora; Eri Suhartadi; Dodie Permana; Novian Gumilar; Alvan; Khalid Habib; Ucok; Sio Sandra Jaya; Edy Sugiharto; Handry; Pak Supri; Pak Dwija; dan Pak Husen. Ketika mengamati satu persatu karya-karyanya tak bisa langsung frontal-sektoral tercerna, melainkan terdapat muatan keadaan perhentian estetis yang nikmat di antaranya menjadi poin-poin catatan publik seni. Inilah hajat hidup budaya yang humanis dikemas dalam kegiatan pameran lukisan bertajuk “eksplosi yang berbunyi dalam citra estetis” mengalir dengan pelan tapi pasti pada hasil karya seni lukis garapannya. Lewat karya-karya lukisan yang dipajang ini, kita tak hanya menjumpai pelbagai ide konseptual, melainkan menimbulkan hentakan segar hingga membuat tersedak dan bila mungkin menguak siratan menyiram butiran ledak dari dan ke dalam pikiran. Seperti pada karya Fajar Wibisono berjudul: “Si Kecil Siap Untuk Berperang” garapan tahun 2008 (110 x 60 Cm) media campuran pada kanvas, menyoalkan ledakan sosial melawan keadaan ledakan apa pun kemudian terjerembab pada tata warna dominant warna oker mengingatkan pada karakter Tanah Air Indonesia. Sebab di lukisan yang dicipta inilah terkandung sumber “eksplosi” tersendiri dalam citra karakter psikis pada visual estetik yang ditampilkan, atau kemungkinan terdapat efek dari virtual sebagai empirical yang disajikan menjadi kedalaman imaji sehingga merangsang sebagai “eksplosi” yang menohok dalam pikiran, yang amat mungkin membuat diri kita bertanya-tanya sebagai eksplosi berpikir terhadap etika, pada karya lukisan yang berlatar warna gelap mengingatkan aksi “dugem” sebagaimana lukisan Windy Pratiwi berjudul: “Lady Night” garapan tahun 2008 (100 X 60 Cm) cat minyak pada kanvas. Lain halnya saat menatap lukisan Pak Supri berjudul : “Superman dan Anjing Gila” garapan tahun 2008 (100 X 100 Cm) akrilik pada kanvas, carut-marutnya tata warna dingin biru-hijau-putih dalam sabetan kuas seakan menghantam bagai cemeti pedih getir dan kesan cabikan sisa-sisa sapuan ekspresif cat tertinggal adalah citra estetik merupakan ledakan rasa dan pikiran kalut sebagai tanda manusia Indonesia di era reformasi. Di sinilah kesempatan menikmati citra seni lukis tak semata berdampak baik secara integratif dalam diri, melainkan juga akan terjadi ekses psikologis pada eksplorasi empirikal diri apresiator terbangkitkan sebagai “eksplosi” krusial di tengah mainstream budaya di antara peneguhan lokalitas terdekat sebagai “local genius”, tak bisa menghindar dari gejolak eskplosi sosiologis sebagai urbanisasi dan demografi yang semakin meledak-ledak (pada lukisan Ucok “Untitled”), eksplosi transportasi, eksplosi ekonomi pertanian (pada lukisan karya Sio Sandra Jaya dan Kholid “Rasiograsi Petani” lalu “Menunggu Benih Dalam Tempurung”), eksplosi etika transendental (pada lukisan Novian Gumilar “close up obyek kaki sujud”), dsb. Lalu apakah mungkin terjadi eksplosi kreasi yang tak terbendung, karena sumbernya pada pola pikir yang menggetarkan jiwa ?! Bukan tak mungkin lagi masih ada yang timbul eksplosi dari pikiran kita ini terhadap iklim kota Bandung, yang citra estetiknya terbabar pada karya Alvan berjudul: “Sunset-5” garapan tahun 2008 (120 X 95 Cm) akrilik pada kanvas. Semua merupakan pembelajaran apresiasi ketika menatap karya-karya lukisan yang dipamerkan ini, terusik dan terpulang pada diri kita masing-masing. Maka tak selalu harus dijawab, cukup kontemplatif bahwa hidup kini terkurung krusial dan selalu diancam eksplosi akhirnya membangkitkan krisis.

Jika diri kita secara kosmologis terjadi krisis, kita bisa terhibur melalui Greg Soetomo dalam “Krisis Seni Krisis Kesadaran” Kanisius 2003, hal. 17 menyatakan bahwa Karya Seni memiliki kualitas tunggal memuat nilai ganda: Pertama, karya seni hanya ada dalam satu ruang dan hanya ada dalam sebuah periode yang terbatas; Kedua, memandang karya seni yang terikat erat dengan sebuah ritus, lokasi dan keunikan yang spesifik dari seni menciptakan aura di sekitar seni.

sebuah kurasi pada pameran Explosive of Mind
oleh : Drs. Bambang Sapto, Mag.SR

No comments: